Tips Membangun Usaha 'Franchise'
Siang itu, suasana food court court sebuah mal ternama di Jakarta terlihat sangat ramai. Nyaris semua gerai makanan dipenuhi antrean pemesan. Papan nama yang terpajang di kios-kios tersebut adalah makanan-makanan yang sudah tidak asing lagi, dan bisa ditemui hampir di semua mal atau daerah pemukiman.Itulah salah satu kelebihan usaha waralaba atau bahasa kerennya franchise. Tanpa perlu banyak promosi, restoran tetap laku dan diminati karena rasanya sudah terjamin sama enaknya. Misalnya raja bakso buatan Es Teler 77. Rasa bakso ini di Pasaraya Manggarai, pasti sama persis dengan rasa bakso Es Teler 77 yang ada di Cinere Mal meski pengelolanya berbeda.Dominique, ibu rumah tangga dengan satu orang putri, ikut tertarik mencicipi lahan usaha franchise yang menurutnya lebih mudah dibangun ketimbang menciptakan brand baru. Tetapi sebagai orang awam di bidang bisnis, mantan pramugari maskapai penerbangan ternama ini tak tahu apa yang harus lebih dahulu disiapkan. Berapa modal yang perlu disediakan pun belum terbayang. Sang suami, seorang teknisi di perusahaan otomotif, juga tak memahami soal bisnis.Wanita cantik ini memilih berbisnis pusat kebugaran dan salon kecantikan. Ada beberapa salon terkenal yang menawarkan sistem waralaba. Sayang, Ikhwan sang suami yang bersedia memodali istrinya lebih setuju kalau sang istri membangun usaha dengan nama sendiri. Alasannya, dengan konsep waralaba mereka tak bisa mengembangkan ide-ide sendiri, akan selalu terpaku pada konsep yang dijual sang pemegang merek. Ikhwan melihat Dominique punya kelebihan yang bisa diaplikasikan untuk usaha salonnya. "Sejak masih single, Ica (demikian pannggilan sang suami, Red) sangat memahami bagaimana cara merawat kecantikan dan keindahan tubuh," ungkapnya dengan bangga. Yang terjadi, mereka berdua malah berdebat menentukan mana pilihan yang terbaik. Dilema seperti yang dialami Dominique dan Ikhwan ternyata sering ditemui Doni Istyanto, seorang perencana keuangan, ketika berhadapan dengan klien-kliennya. Menurut Doni, setiap usaha mempunyai risiko masing-masing. Namun, ia membenarkan bisnis waralaba merupakan salah satu pilihan untuk memperkecil risiko kegagalan.Setiap usaha harus dimulai berdasarkan kemampuan dan minat yang akan menjalankan. Doni memberi contoh, bila seseorang pintar masak dan mampu mempekerjakan koki andal, maka ia bisa mendirikan usaha sendiri. Sedangkan, bila tadinya bekerja sebagai karyawan atau eksekutif di sebuah perusahaan dan ingin membuka usaha, bisnis waralaba dapat dijadikan pilihan.Selain itu, nama besar yang sudah dimiliki oleh franchiser, atau si pemegang utama usaha franchise, menjadi jaminan untuk kelangsungan usaha para franchisee (pemegang lisensi franchise). "Franchisee tidak perlu repot-repot lagi memikirkan biaya untuk promosi," ungkap Doni.Hal ini diamini Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Anang Sukandar. Menurut Anang, tingkat kegagalan usaha yang dibangun sendiri dari awal, relatif lebih tinggi dibandingkan bisnis waralaba. "Kalau franchise itu untuk usaha yang sudah sukses, sehingga tingkat keberhasilannya lebih tinggi," tuturnya.Usaha waralaba yang ada di Indonesia cukup beragam. Mulai dari sektor makanan dan minuman, salon kecantikan, bahkan sekolah. Di Tanah Air, usaha waralaba yang cukup dominan ada di sektor makanan dan minuman. Jumlah penduduk Indonesia yang besar, jelas Doni Istyanto, membuat pangsa pasar makanan dan minuman juga besar.Apalagi, masyarakat Indonesia mempunyai beragam kekayaan kuliner. Makanan adalah salah satu kebutuhan primer yang senantiasa harus selalu dipenuhi. Ini bisa dilihat dari usaha franchise pertama yang booming di Indonesia, ungkap Doni, adalah restoran cepat saji dari Amerika, Mc Donald. Untuk makanan Tanah Air, Anang Sukandar mengungkapkan, Es Teler 77 masih menjadi usaha franchise yang paling diminati.Walaupun tergolong berisiko rendah, namun bukan berarti tidak berisiko sama sekali. "Meskipun sudah terkenal, dalam 12 tahun pertama, bisnis waralaba belum memberikan keuntungan berarti," jelas Anang Sukandar. Diperlukan motivasi tinggi dalam menjalankan setiap usaha, termasuk bisnis franchise. Si pendiri harus berperan sebagai risk taker yang memiliki keseriusan dalam berbisnis, bukan hanya sebagai pemodal semata.Ada beberapa komponen biaya yang harus disiapkan oleh seseorang yang sudah memutuskan untuk membangun usaha waralaba, seperti yang dijelaskan Anang Sukandar berikut ini. Komponen biaya bisnis franchise terdiri dari tiga bagian. Pertama adalah franchise fee, yaitu one time fee ketika membeli royalti atau izin usaha dari si franchiser.Kedua, yaitu royalty fee yang biasanya dihitung dari keuntungan atau omzet yang didapat oleh franchisee. "Besarannya tidak tentu. Biasanya, 0% - 12% dari omzet," tandas Anang. Terakhir yang juga penting yaitu start-up capital atau modal awal. Hal ini harus disampaikan franchisee kepada franchiser. Dengan begitu, pihak franchiser dapat memberitahu berapa biaya bahan baku, peralatan, modal kerja, sesuai dengan modal awal yang dimiliki franchisee.Selain komponen biaya, masih ada lagi hal-hal yang perlu dipersiapkan secara matang sebelum benar-benar siap membuka usaha waralaba. Anang menganjurkan, untuk terlebih dahulu menelusuri minat. "Itu penting, agar usaha ini tidak dilihat sebagai beban, melainkan kesenangan," tandasnya.Sebagai perencana keuangan, Doni Istyanto juga menganjurkan hal yang sama. Bila seseorang membuka usaha berdasarkan hobi dan kesenangan, akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil. "Apa yang dijalankan dengan hati senang dan gembira, biasanya hasilnya bagus," akunya.Persetujuan dan restu dari keluarga termasuk penting. Orang biasa menganggap remeh hal ini, padahal, buat usaha yang baru saja dibangun atau dijalankan, biasanya memakan waktu si pendiri. Bahkan, waktu untuk keluarga seringkali ikut dikorbankan. Untuk urusan dana, Anang menyarankan, agar dana untuk usaha tidak diambil dari anggaran keuangan keluarga dan juga tidak digunakan untuk kepentingan keluarga. "Jangan sampai mengganggu kondisi finansial keluarga, misalnya memakai modal dana yang dialokasikan buat tabungan pendidikan anak," katanya.Tahap berikutnya, yaitu mulai memilih usaha waralaba apa yang akan dijalankan sesuai minat dan kesenangan. Disarankan, agar lebih dahulu membuat daftar usaha franchise yang diminati lebih dari satu. Agar dapat dilakukan perbandingan, usaha mana yang lebih unggul. Terakhir, menilai kondisi organisasi franchiser. "Diharapkan, franchisee dan franchiser dapat bekerjasama," jelas Anang.Membangun usaha franchise tidak terbatas pada membeli nama atau lisensi dari sebuah usaha terkenal. Bisa juga dengan menjadi franchiser dari usaha yang telah dirintis sebelumnya. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mewaralabakan usaha. Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi.Menurut Anang, franchiser dimulai dari suatu usaha yang dianggap sudah berhasil. Butuh organisasi embrio sebagai awal. Yaitu, organisasi di mana di dalamnya terdapat bagian-bagian penting suatu usaha. Pertama, bagian yang membuat atau disebut production management. Kedua, bagian yang menjual atau marketing and sales management. Terakhir, bagian yang mencatat dan mengontrol keuangan atau financial management and controller.Asosiasi sendiri adalah wadah di mana para franchisee, dan franchiser serta talon franchiser berkomunikasi dan saling berbagi informasi. Tidak ada keharusan, menurut Anang, bagi para pengusaha waralaba untuk menjadi anggota asosiasi. Namun, dengan menjadi anggota AFI, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh para pengusaha."Asosiasi bekerjasama dengan BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) sering mempromosikan usaha waralaba ke luar negeri," ungkap Anang. Biasanya, AFI mengirimkan sekitar delapan usaha yang diunggulkan.Selain itu, bersama dengan Departemen Perdagangan, AFI mengadakan program pendidikan dan latihan bagi para anggota asosiasi. Tapi sayang, ungkapnya, biasanya para pengusaha megirim karyawan bawahan untuk mengikuti diklat. "Padahal, ini justru berguna bagi si pengusaha, karena dia yang memiliki tanggung jawab penuh atas kelangsungan usaha," ujarnya. (ANASTASIA RATIH P TYAS)
Sumber: Investor indonesia
"Jangan mengiklankan merek Anda, tapi hidupkan" - Phillip Kotler
No comments:
Post a Comment